Selasa, 10 Januari 2012

Nilai Budaya Banjar dalam Cerita si Palui



Nilai Budaya Banjar dalam Cerita si Palui
Oleh Zulkifli

Abstract:The focus of this research covers the Banjarese cultural values in human relations to God, Banjarese cultural values in human relations to other human beings, Banjarese cultural values in human relations to their own lives or in relation to human activities as the form of human self-development, and Banjarese cultural values in human relations to nature. The findings show that Banjarese cultural values found in Cerita si Palui concerning human relations to God involve repentance, being grateful, sincerity, acceptance as what is given, patience, remembering God, and being resigned. This is also related to one of the Banjarese characteristics as Moslems. The Banjarese cultural values in Cerita si Palui concerning human relations to other humans involve deliberation, brotherhood, mutual cooperation, mutual assistance, self adaptation and custom respect. The Banjarese values concerning human relations to their own lives involve: hard work, carefulness, caution, discipline, self-correction, being economical, self-protection, self confidence, being up to date to the development, responsibility, and fact-acceptance. The Banjarese cultural values found in Cerita si Palui in human relations to nature involve values: nature preservation, economizing on water, forest preservation and environment protection.

Kata kunci: cerita si Palui, nilai budaya Banjar

Indonesia dikenal dengan keragamannya. Penduduknya menunjukkan keragaman budaya,  adat-istiadat, suku, agama, dan bahasa. Keragaman tersebut merupakan khazanah yang sangat bermakna bagi bangsa Indonesia dan sebagai bahan kajian yang luas dan memberikan manfaat untuk kehidupan masyarakat, pembangunan bangsa, dan pengembangan dunia keilmuan. Salah satu pengkajian yang perlu dilakukan yakni pengkajian terhadap budaya, yang secara khusus dalam lingkup budaya daerah
Salah satu khazanah budaya daerah di Kalimantan Selatan adalah karya sastra dalam bentuk cerita rakyat si Palui..Cerita si Palui ditokohi oleh tokoh utama si Palui. Cerita si Palui yang dahulunya berstatus anonim, kini sejak tiga

puluh tahun lebih telah ditulis oleh beberapa penulis. Sejak tahun 1973, cerita si Palui dipublikasikan melalui Banjarmasin Post.
Penelitian cerita si Palui perlu dilakukan untuk mengkaji nilai budaya yang terkandung di dalamnya, sekaligus berkaitan dengan pelestariannya sebagai khazanah budaya daerah Banjar. Penelitian ini berupaya mengungkapkan dan mengkaji nilai budaya Banjar yang terdapat dalam cerita si Palui yang dipublikasikan melalui harian Banjarmasin Post. Yang dimaksudkan dengan nilai adalah sesuatu yang berharga atau berguna dalam kehidupan manusia.
Fokus penelitian ini meliputi: nilai budaya Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, nilai budaya Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia,  nilai budaya Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan diri sendiri atau berkaitan dengan kegiatan manusia sebagai individu dalam bertindak atau berperilaku sebagai bentuk pengembangan dirinya, dan nilai budaya Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam atau  berkaitan dengan  kegiatan manusia dalam pelestarian dan pemanfaatan alam.
Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan berkaitan dengan kajian teori dalam penelitian ini. Hal-hal tersebut meliputi keberadaan sastra dan karya sastra, sastra, sastrawan, dan masyarakat, dan nilai budaya dalam karya sastra. Sastra merupakan bagian dari kebudayaan, karena itu karya sastra dipahami sebagai salah satu produk budaya. Sastra senantiasa mengalami perkembangan atau secara dengan sendirinya berarti juga sastra mengalami perubahan. Sastra juga mengalami evolusi (Wellek dan Warren, 1956). Jika terjadi perkembangan dan perubahan terhadap sastra, maka sangat dimungkinkan juga akan terjadi pergeseran genre dalam keberadaan karya sastra, termasuk perubahan media penyampaiannya, misalnya dari pengungkapan lisan ke tulisan. Ratna (2004:16) mengemukakan bahwa genre sastra atau ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis, kondisi-kondisi sastra juga memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda. 
Perkembangan sastra tentu berkaitan dengan masyarakat pendukungnya. Sastra tidak dapat dipisahkan dengan masyarakatnya. Pengarang atau penulis sastra merupakan bagian integral dari masyarakatnya (Pradopo, 2003:112-113).
Sastra sebagai bagian dari kebudayaan, tentu di dalamnya terdapat nilai budaya. Nilai budaya dianggap sebagai sesuatu yang penting keberadaannya dalam kehidupan manusia (Koentjaraningrat, 1985; Sastrowardoyo, 1988; Hutomo, 1993; Frondizi, 2001; dan Buseri, 2004:8). Nilai budaya dalam karya sastra ditemukan jika karya sastra itu dikaji atau diteliti secara mendalam. Nilai budaya dalam karya sastra ada yang sifatnya universal dan ada yang bersifat lokal (Darma, 1998: 69). Nilai budaya dalam karya sastra berisi pengungkapan  hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan Tuhan, dengan  masyarakatnya, dan hubungan dengan lingkungan. Nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan dirinya menempatkan karya sastra sebagai media pengungkap pribadi. Hal ini terkait dengan orientasi karya sastra sebagai  ekspresi pengarangnya sebagaimana yang dikemukakan Abrams (dalam Pradopo, 2003:162-163). Karya sastra menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, lingkungan, dan Tuhan (Hamdan, 2004:4).
Teori atau sekaligus sebagai pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: hermenuetika. Dalam penelitian sastra, hermeneutika dapat disebut sebagai metode.  Hermeneutika merupakan pendekatan yang sangat tua dalam kajian teks, yang dalam arti luas adalah karya sastra (Rokhman, 2003:94).  Walaupun hermeneutika pada awalnya digunakan untuk memahami atau menafsirkan kitab suci, kemudian dipandang tepat untuk diterapkan ke dalam karya sastra. Anwar (dalam Juairiah, 2005:71) mengemukakan bahwa hermeneutika merupakan disiplin filsafat yang berupaya menjelaskan, mengungkapkan, dan menelusuri pesan dan pengertian dasar yang mengejewantah dari satu teks, wacana, dan realitas, sehingga sampai pada isi, maksud, dan makna mendalam. Hermeneutika dipandang sebagai subdisiplin teologi, yang mencakup kajian metodologinya tentang otentikasi dan penafsiran teks (periksa Howard, 2001:23). Howard juga mengemukakan bahwa hermeneutika secara tradisional digambarkan sebagai seni menafsirkan bahasa. Pemahaman manusia selalu dalam menaklukkan bahasa karena bahasa tidak pernah berhasil melingkupi dan mewakili segala sesuatu yang ingin dikatakan dan dipahami (Grondin, 2007:267).
Dikaitkan dengan fungsi utama hermeneutika sebagai metode untuk memahami agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah karya sastra (periksa Ratna, 2004:25). Hermeneutika adalah interpretasi yang berorientasi pada teks dan tidak mungkin ada teori interpretasi yang tidak bergumul dengan problem tulisan (Ricoeur, 1996:26). Ricoeur (1981:58) juga mengemukakan bahwa tempat pertama yang didiami hermeneutika adalah bahasa, dan lebih khusus lagi bahasa tulis. Masalah interpretasi terhadap karya sastra serta hubungan antara maksud karya itu dengan niat penulis, demikian pula dengan peranan pembaca dalam situasinya yang berbeda dengan situasi penulis sebenarnya telah lama menjadi pokok pikiran ahli satra dan ahli filsafat, dan tetap menarik minat pada tataran teori yang lebih luas (periksa Teeuw, 1984: 173). Menurut Teeuw, soal semacam ini merupakan salah satu masalah utama dalam hermeneutika. Hermeneutika adalah kajian terhadap pemahaman dengan jalan menginterpretasikan tindakan dan teks (Ibrahim, 2005:11).  Sebenarnya, teks itu sendiri ada yang berupa tulisan dan ada pula berupa lisan (Hutomo, 1993: 13). Friedrich Schleiermacher (dalam Abrams, 1981:84) mengemukakan bahwa hermeneutika secara umum merupakan teori memahami setiap jenis teks. Untuk memahami karya sastra (sebagai teks tertulis) diperlukan pembacaan yang tidak terbatas (Ricoeur, 1981:187). Sifat sastra tidak pernah absolut sehingga hasil pengkajian sebuah karya sastra tidak pernah sampai pada insterpretasi final mengingat sifatnya yang selalu terbuka (Pradotokusumo, 2005: 134; Maryaeni, 2005:45).
Dalam merumuskan cara untuk memperoleh  makna sebuah teks, Dilthy (dalam Abrams, 1981:84; Howard, 2001:41; Darma, 2004:109) ada yang disebut lingkaran hermeneutika seperti yang dikemukakan oleh Schleiermacher bahwa untuk memperoleh makna bagian-bagian linguistik, kita harus mendekatinya dengan cara memahami makna secara keseluruhan, namun kita dapat mengetahui makna keseluruhan hanya dengan mengetahui makna dari bagian-bagiannya. Prosedur ini berlaku untuk hubungan-hubungan antara makna kata-kata di dalam kalimat dan makna kalimat secara keseluruhan, juga antara satuan-satuan kalimat dan hasil karya secara keseluruhan.
Hermeneutika paling sering digunakan dalam penelitian karya sastra (Ratna, 2004: 44). Hermeneutika berusaha menafsirkan atau menemukan makna karya sastra sebagai teks sesuai dengan konvensi sastra dan latar budayanya (Saraswati, 2003). Karena itu, studi (penelitian) sastra  mempunyai hubungan dengan studi budaya, keduanya saling berkaitan, bahkan menurut Culler hubungan keduanya tampak rumit (periksa Culler, 1997: 47).
Metode hermeneutika mencari makna yang paling optimal dalam karya sastra (Ratna, 2004:44). Memang, metode hermeneutika tetap memiliki keterbatasan dalam melakukan penafsiran atau pemahaman terhadap suatu teks, termasuk karya sastra (Ricoeur, 1996:23-24). Lebih jauh menurut Recoeur mengemukakan bahwa dengan hermeneutika juga dimaksudkan agar suatu teks dapat dipahami oleh penerima. Memang, hermeneutika titik beratnya pada pembaca (periksa Darma, 2004:109). Sebagai penerima (pembaca dan peneliti karya sastra) berusaha untuk menemukan makna yang dianggap paling mendekati makna sesungguhnya (Ratna, 2004:46). Hermeneutika merupakan satu disiplin yang perhatian utamanya diarahkan pada aturan-aturan penafsiran terhadap teks yang jelas (Thompson, 1986:67). 
Hermeneutika menempatkan peran penting pembaca dalam penafsiran karya sastra (periksa Eagleton, 1989:74). Kemudian, hal-hal yang harus diperhatikan dalam hermeneutika, apa yang disebut hermeneutics of recovery (mencari pesan asli yang bisa diakses kepada pembaca, ditujukan untuk pembaca asli) dan hermeneutics of suspicion (mencari untuk mengekspose yang belum diuji, mengapa, apa, dan tujuan suatu teks itu ditulis) (periksa Culler, 1997:68).
Tugas hermeneutika menurut Ast (dalam Poespoprodjo, 2004:21) dirumuskan dalam tiga bentuk pemahaman, yaitu pemahaman yang dibincangkan dalam karya sastra, pemahaman bahasa, dan pemahaman roh karya, yakni pemahaman roh zaman dan pandangan semesta dari si pengarang yang saling berinteraksi serta saling menerangi. Pencapaian Ast lainnya yang penting bagi hermeneutika dan dijumpai lagi dalam pemikiran Schleiermacher serta Dilthey adalah bahwa pemahaman merupakan pengulangan proses kreatif.
Dalam kaitan dengan keberadaan bahasa dalam hermeneutika, bagi Gadamer (dalam Poespoprodjo, 2004:102) bahasa memang menempati posisi sentral hermeneutika karena manusia adalah manusia,  karena manusia mempunyai bahasa. Poespoprodjo mengemukakan bahwa sebagai bagian dari proses hermeneutika adalah dengan menafsirkan karya sastra dengan mempertimbangkan munculnya karya sastra dan bahasanya. Hal ini juga sesuai Kenneth Burke (dalam Liliweri, 2003:72) mengemukakan bahwa untuk menentukan identitas budaya sangat bergantung pada bahasa.

METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian nilai budaya Banjar dalam cerita si Palui adalah pendekatan kualitatif. Yang menjadi sumber data penelitian adalah berupa cerita dalam bentuk teks tertulis. Peneliti bertindak sebagai instrumen kunci. Penelitian ini berusaha menemukan dan mengkaji nilai-nilai dalam cerita si Palui yang dipublikasikan pada harian Banjarmasin Post. Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian hermeneutika. Data dalam penelitian ini adalah nilai budaya Banjar yang terdapat pada cerita si Palui. Sumber data penelitian adalah cerita si Palui yang dipublikasikan  pada harian Banjarmasin Post dari 1 Februari 2006  sampai 31 Januari 2007. Penentuan cerita sebagai sumber data dilakukan dengan memperhatikan waktu pempublikasian pada semua bulan dengan alasan bahwa suatu cerita dapat muncul sesuai kegiatan atau peristiwa yang terjadi. Jumlah cerita yang dijadikan sumber data tidak mengikat. Hal ini sesuai dengan pendapat Propp (1927:26-27) bahwa jumlah cerita yang dikaji tidak bergantung pada jumlah, tetapi pada nilai analisisnya. Analisis data dilakukan dengan menggunakan model interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1987:23) yang tergambar sbb.


 











Dalam penerapannya, model analisis data di atas disesuaikan dengan kebutuhan, pendekatan dan jenis penelitian hermeneutika.
Peneliti mengumpulkan cerita si Palui yang terdapat pada harian Banjarmasin Post. Kriteria yang digunakan untuk menentukan cerita yang dijadikan sumber data yaitu: 1) isi cerita sesuai dengan fokus penelitian, 2) cerita selalu menampilkan tokoh si Palui sebagai tokoh utama, dan 3) ceritanya mengungkapkan kehidupan masyarakat Banjar. Peneliti membaca semua cerita yang terkumpul yakni bejumlah 351 buah. Setelah peneliti memeriksa semua  cerita yang ada, peneliti menemukan 3 buah  cerita yang sama, maka jumlah cerita tersisa 348 buah. Peneliti kemudian membaca semua cerita secara heuristik untuk mendapatkan cerita yang dijadikan sumber data. Akhirnya, dari 348 buah cerita tersebut, peneliti menentukan 95 buah cerita yang dijadikan  sumber data  yang layak atau sesuai dengan fokus penelitian. 253 buah cerita tidak layak dijadikan sumber data karena isi cerita tidak mendukung fokus penelitian.
Pada saat proses reduksi, peneliti mengawalinya dengan membaca secara cermat cerita-cerita yang ada. Cerita yang ada tetap sebagaimana adanya, maksudnya masih berbahasa Hal ini dimaksudkan agar penafsiran terhadap makna kata, ungkapan, peribahasa, kalimat, dan konteks makna bahasa Banjarnya tetap terjaga. Peneliti juga mengkaji atau menemukan isi cerita dan  bagian cerita yang menjadi data nilai budaya Banjar. Peneliti melakukan interpretasi data dengan berpijak pada dasar-dasar hermeneutika.Peneliti membuat kode-kode dan penggolongan data serta penerjemahan bagian cerita (data nilai budaya Banjar). Penerjemahan dilakukan dari bahasa Banjar ke bahasa Indonesia.
Pada kegiatan penyajian data, peneliti mengemukakan data-data yang berisi kutipan bagian cerita dan penilaian atas bagian cerita yang dimasukkan ke nilai budaya tertentu. Data yang disajikan, terutama pada bagian penilaian atas bagian cerita merupakan temuan nilai budaya Banjar dalam cerita si Palui. Temuan nilai budaya Banjar tersebut dijadikan dasar untuk melakukan verifikasi atau penyimpulan.  Kesimpulan yang diambil bersifat sementara. Pengumpulan data bisa terjadi berulang, sesuai dengan kecukupan data yang diperoleh.
Verifikasi ada dua macam, pertama verifikasi yang dilakukan peneliti dan yang kedua adalah verifikasi yang dilakukan peneliti dengan partisipan pada saat pengecekan keabsahan temuan. Bila terjadi penambahan data, maka akan ada lagi kegiatan reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Keabsahan temuan dilakukan dengan triangulasi melalui peneliti dan pengamat budaya Banjar dan melakukan diskusi dengan teman sejawat. Semua yang dilibatkan dalam triangulasi dan diskusi berlatar belakang suku Banjar dan menguasai bahasa Banjar dan bahasa Indonesia, serta pernah membaca cerita si Palui yang dipublikasikan pada harian Banjarmasin Post. Keabsahan temuan penelitian juga dilakukan dengan cara menelaah beberapa kali sumber data dan membaca buku-buku tentang sastra Banjar serta yang menyangkut kebudayaan Banjar.

HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa nilai budaya Banjar yang ditemukan dalam dalam cerita si Palui.Nilai budaya Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan meliputi: tobat, syukur, ikhlas, qonaah, sabar, ingat pada Tuhan, dan tawakkal. Ketujuh nilai tersebut secara langsung terkait dengan penerapan ajaran Islam. Hal ini juga berhubungan dengan salah satu identitas orang Banjar sebagai pemeluk Islam, sehingga perilaku dan kehidupan sehari-harinya banyak dipengaruhi dan didasarkan pada ajaran Islam. Ketika orang Banjar melakukan kesalahan atau berperilaku yang tidak baik, ia berusaha untuk bertobat atau menyesali perbuatannya untuk kemudian mengisinya dengan berbagai kebaikan. Mereka juga bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan. Karena itu, orang Banjar berusaha agar tetap mensyukuri apa yang diberikan Tuhan kepadanya, sehingga terhindar dari sikap mengeluh. Hal ini juga terkait dengan keikhlasan mereka dalam beribadah dan berbuat baik kepada sesama. Orang Banjar mengganggap keikhlasan sebagai sesuatu yang bernilai dan harus dipegang sebagai landasan dalam melakukan ibadah atau perbutan yang baik. Orang Banjar juga memegang nilai menerima dengan cukup apa yang diberikan Tuhan kepadanyaatau disebut qonaah. Nilai syukur, ikhlas, dan qonaah satu sama lain erat kaitannya. Dengan nilai-nilai tersebut akan membuahkan kesabaran. Dalam cerita si Palui pun terdapat nilai sabar. Orang yang beryukur, ikhlas, qonaah, dan sabar tentu tidak akan lupa kepada Tuhan. Orang Banjar juga berusaha agar selalu dekat kepada Tuhan. Orang Banjar diajarkan agar tahan dalam menghadapi cobaan hidup, tidak mengeluh, dan kemudian dalam setiap usahanya selalu mempasrahkan dirinya kepada Allah. Hal yang terakhir inilah yang disebut tawakkal. Nilai tawakkal pun juga ada di dalam cerita si Palui.
Nilai budaya Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia yang terdapat dalam cerita si Palui meliputi nilai: musyawarah, persaudaraan, gotong-royong, tolong-menolong, penyesuaian diri, dan menghargai adat. Cerita si Palui tentu sebagiannya menggambarkan bagaimana pergaulan orang Banjar di masyarakat. Orang Banjar sangat mengutamakan musyawarah. Musyawarah dilakukan pada saat akan melakukan sesuatu atau untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Seseorang tidak boleh memaksakan pendapatnya kepada yang lain. Nilai pesaudaraan juga terungkap dalam cerita si Palui. Persaudaraan bagi orang Banjar merupakan sesuatu yang harus dibina dan dipertahankan. Istilah badangsanakan (bersaudara) memiliki makna yang amat dalam, yang menumbuhkan rasa solidaritas atau saling memperhatikan antara sesama. Karena itu, nilai gotong-royong juga menjadi bagian nilai budaya Banjar yang terdapat dalam cerita si Palui. Banyak kesempatan yang memberikan kepada orang Banjar untuk bekerja sama, bergotong-royong untuk menghasilkan atau merampungkan suatu pekerjaan. Sangatlah wajar jika di dalam masyarakat Banjar ditemukan perilaku tolong-menolong, saling menyesuaikan diri, dan menghargai adat yang berlaku. Hal ini juga menggambarkan betapa kuatnya sistem kekerabatan di antara warga Banjar yang dikenal dengan istilah bubuhan.
Nilai budaya Banjar yang yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan diri sendiri yang terdapat dalam cerita si Palui meliputi nilai: kerja keras, teliti, waspada, disiplin, koreksi diri, hemat, jaga diri, mengikuti perkembangan zaman, percaya pada diri sendiri, tanggungjawab, dan menerima kenyataan.
Orang Banjar dikenal menekuni berbagai pekerjaan. Mereka tidak saja bekerja di kampung halamannya, tetapi juga bekerja di tempat lain atau merantau hingga ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri. Hal ini terjadi sejak beberapa abad lalu. Dalam cerita si Palui terungkap nilai-nilai yang berhubungan dengan bagaimana orang Banjar bekerja untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya. Karena itu, nilai kerja keras menjadi salah satu nilai yang ada pada diri orang Banjar. Orang Banjar juga berusaha untuk teliti dan waspada dalam banyak hal. Kedua hal ini juga terungkap dalam cerita si Palui. Nilai budaya disiplin juga terungkap di dalam cerita si Palui. Nilai disiplin yang terungkap berupa adanya pengutamaan aturan yang berlaku. Orang Banjar memiliki jiwa dan pemikiran terbuka, karena itu nilai koreksi diri juga bagian dari nilai budaya Banjar yang terungkap melalui cerita si Palui.
Salah satu cara orang Banjar untuk menjaga kestabilan hidupnya adalah dengan melakukan penghematan. Hal ini ditandai dengan kemampuannya dalam mengelola apa yang dimilikinya secara baik. Dalam konteks kehidupan ini, orang Banjar terbuka terhadap perubahan atau dapat mengikuti perkembangan zaman. Orang Banjar juga merasa perlu percaya pada diri sendiri dalam menjalani kehidupan, adanya rasa tanggungjawab atas apa yang dilakukannya, dan hendaknya dapat menerima kenyataan yang ada.
Nilai budaya Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam yang terdapat dalam cerita si Palui meliputi nilai: pelestarian alam, penghematan air, pelestarian hutan, dan pemeliharaan lingkungan. Nilai pelestarian tanaman  berhubungan dengan perlunya menanam tanaman yang bermanfaat di sekitar tempat tinggal, penghematan air berhubungan dengan perluunya penggunaan air yang efektif dan pemeliharaan sumber-sumber air, peletarian hutan berhubungan dengan perlunya pengendalian penebangan hutan agar tidak gundul, dan pemeliharaan lingkungan berhubungan dengan penataan bangunan, penataan jalan dan arus lalu lintas, pemeliharaan sungai, serta penataan kota. 

PEMBAHASAN

Nilai Budaya Banjar yang Berkaitan dengan Hubungan Manusia dengan Tuhan
            Orang Banjar dengan kebudayaannya mempunyai unsur dominan, yaitu dari segi bahasa adalah bahasa Banjar dan dari segi keberagamaannya adalah Islam (Syarifuddin, dkk. 1996: 27). Karena itu amat wajar jika nilai budaya Banjar juga berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Hal ini terungkap melalui penelitian terhadap nilai budaya Banjar yang terdapat dalam cerita si Palui yang dipublikasikan melalui harian Banjarmasin Post. Nilai budaya Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan yang ditemukan meliputi: tobat, syukur, ikhlas, qonaah, sabar, ingat pada Tuhan, dan tawakkal.
Tobat berarti suatu kesadaran dan penyesalan seseorang atas perbuatan maksiat atau perbuatan jelek yang dilakukannya, sehingga ia berniat untuk melakukannya lagi (Al Gazali, 1996:56; Muis,t.t.: 60-62: Zuhuri, 1998:230-231). Cukup banyak nilai tobat yang terungkap dalam cerita si Palui. Hal ini secara langsung mencerminkan kuatnya pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat Banjar. Bahkan orang Banjar sering melaksanakan ibadah dalam rangkaian untuk bertobat atas segala kesalahan atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ibadah tersebut dilakukan dengan sholat yang disebut dengan sholat tobat. Sholat tobat dikerjakan bila seseorang merasa bersalah atau telah berbuat dosa (Daud,1997:184). Nilai budaya Banjar dalam cerita si Palui dalam hubungan manusia dengan Tuhan juga ada yang berupa nilai mensyukuri atas nikmat yang diberikan Tuhan Karena itu, orang Banjar sering menyelenggarakan kenduri atau basalamatan. Basalamtan merupakan salah satu perwujudan pernyataan syukur kepada Allah. Orang Banjar juga mengenal upcara kenduri berkenaan dengan habis panen, mereka mengadakan kenduri mahanyari banih atau mencoba yang baru, mereka makan bersama sekeluarga atau ditambah dengan warga sekitarnya (Daud, 1997:445).
Nilai ikhlas juga terdapat dalam cerita si Palui. Orang Banjar biasa menyebut ikhlas dengan ihlas atau terkadang dengan halas. Orang Banjar mengajak sesamanya agar menyumbangkan sesuatudisertai ucapan  sukarila haja, maksudnya dalam memberi sumbangan tidak dipaksakan jumlahnya. Ikhlas itu artinya bersih, tidak ada campuran, ibarat emas emas tulen, tidak bercampur perak berapa persenpun (Hamka, 1970:107). Nilai budaya Banjar yang ditemukan dalam cerita si Palui juga ada yang disebut qonaah. Qonaah berarti menerima dengan cukup segala sesuatu yang diberikan Allah kepada kita (Hamka, 1970:180; Zaidallah, 2002:242). Cerita Sapida Mutur Seken (Pal-39-SMS) berisi tentang keadaan ekonomi keluarga Palui yang sangat sederhana. Isteri Palui harus dapat memanfaatkan dengan baik uang yang ada untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika seseorang menerima apa yang ada atau tarimalah apa nang ada, maka tidak akan ada keluhan yang muncul atas apa yang dihadapinya. Nilai sabar juga terdapat dalam cerita si Palui. Cerita Salimput Gugur berisi tentang betapa beratnya sepasang suami-isteri memelihara bayi. Palui menyadari keadaannya, karenanya ia dan isterinya harus mampu bersabar. Dalam pergaulan orang Banjar, jika seseorang mendapat nasihat baingat-ingat, maka maknanya menyuruh orang agar kembali kepada Allah. Dalam cerita Ubat Huban (Pal-70-UH) memberikan pelajaran bahwa manusia memiliki keterbatasan. Palui gelisah dengan adanya uban di kepalanya. Orang Banjar berpandangan bahwa bila seseorang telah berusia 40 tahun, jika ia tidak memperbaiki perilakunya, maka sulit mengubahnya hingga tua. Salah satu nilai yang terdapat dalam cerita si Palui adalah tawakkal Tawakkal berarti melakukan berbagai ikhtiar dan mencurahkan segala kemampuan dalam suatu pekerjaan, lalu kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. Orang Banjar telah lama mengenal kata tawakkal yang biasa hanya diucapkan tawakal. Orang Banjar sering juga mengatakan batawakalan. Ada kecenderungan batawakalan diartikan sebagai bentuk penyerahan diri kepada Allah, tetapi tidak disertai dengan ikhtiar secara lebih kuat, bahkan sebagian cenderung menyalahi ajaran Islam

Nilai Budaya Banjar yang Berkaitan dengan Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia
Nilai Budaya Banjar dalam cerita si Palui dalam hubungan manusia dengan sesamanya yang ditemukan meliputi: nilai musyawarah, persaudaraan, gotong-royong, tolong-menolong, penyesuaian diri, dan menghargai adat.
Semua nilai budaya yang disebutkan di atas juga berkaitan dengan sistem kekerabatan dan sikap keberagamaan (Islam) dari masyarakat Banjar. Dalam sistem kekerabatan, baik karena keturunan maupun karena status sosial dan profesi, ada yang disebut bubuhan (Daud, 1997:72). Bubuhan sebagai kesatuan sosial sangat kuat ikatannya dan kegotongroyongannya (Saleh, 1986:3). Tampaknya bubuhan berasal dari adanya hubungan keturunan  dan daerah atau wilayah, kemudian berkembang menjadi macam-macam bubuhan. Dengan adanya bubuhan, secara langsung menggambarkan adanya upaya untuk mempersatukan antar sesama, termasuk bagaimana sebaiknya hidup berkelompok.
Orang Banjar mengenal musyawarah, baik dalam lingkup terbatas, maupun dalam hubungan anggota masyarakat yang lebih luas.Cerita Kadada Urangnya (Pal-30-KdU) menceritakan rencana warga untuk membangun langgar. Untuk mewujudkan rencana tersebut, warga bermusyawarah, terutama untuk membicarakan bagaimana cara mencari dana agar langgar dapat dibangun dalam waktu singkat. Bagi masyarakat Banjar, keberadaan langgar sangat penting karena bukan saja tempat untuk beribadah (solat), tetapi juga difungsikan sebagai tempat untuk bermusyawarah (Buseri, 2004:78). Nilai musyawarah bukan saja pada saat akan membangun fasilitas umum, tetapi juga berlaku dalam langkah awal perjodohan atau saat pelamaran (Syarifuddin, dkk. 1995:24).
Dalam pergaulan masyarakat Banjar, jika terjadi perselisihan hubungan antara satu dengan yang lain, biasanya orang yang dianggap lebih tua dan berwibawa meminta untuk dimusyawarahkan. Nasihat yang keluar biasanya dengan kalimat bahasa Banjar yang pendek, yaitu Cuba pang dipandirakan (coba bicarakan). Nilai musyawarah juga terungkap dalam cerita AmalanTutulak Maling (Pal-56-ATM). Musyawarah dilakukan untuk membicarakan bagaimana mengatasi keadaan kampung yang tidak aman. Kepala desa atau pambakal berinisiatif mengadakan musyawarah. Akhirnya, musyawarah memutuskan untuk menggiatkan kembali ronda malam yang beberapa lama terhenti. Pelaksanaan ronda malam bagi masyarakat Banjar sudah berlangsung lama. Dengan ronda malam, warga diharapkan terhindar dari gangguan pencurian dan musibah kebakaran. Warga masyarakat membentuk perkumpulan pemadam kebakaran. Memang, musibah kebakaran sering terjadi di daerah Kalimantan Selatan, termasuk di kota Banjarmasin. Hal ini disebabkan sebagian besar bangunan terbuat dari papan atau kayu, bahkan sebagian atap rumah terbuat dari daun nipah.
Nilai persaudaraan merupakan salah satu nilai budaya Banjar yang terdapat di dalam cerita si Palui. Hal ini punya juga terkait dengan adanya bubuhan. Para tokoh masyarakat Banjar yang terdapat di dalam bubuhan juga berfungsi sebagai penengah atau juru damai jika ada perselisihan (Hasan, 2007:2). Persaudaraan yang dijunjung tinggi oleh orang Banjar tidak terbatas karena adanya hubungan darah atau keluarga, tetapi juga keakraban dalam bertetangga, dan sesama anggota masyarakat dalam arti luas. Orang Banjar yang hidup di perantauan dinasihati oleh orangtua agar menjalin persaudaraan dengan orang yang ada di tempat tinggalnya yang baru. Nasihat itu bisa berupa ungkapan, bisa-bisa maandak awak (pandai-pandai menempatkan diri). Nasihat ini diberikan orangtua kepada anaknya yang akan merantau agar dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat yang berlaku di negeri orang (Makkie dan Seman, 1996:29). 
Dalam pergaulan sehari-hari orang Banjar, disebut badangsanak. Orang yang badangsanakan, dalam kesehariannya, satu sama lain saling memperhatikan, saling bercanda, dan saling mengenal anggota keluarga masing-masing. Orang Banjar berusaha menjaga persaudaraan, walau dengan orang yang belum begitu dikenalnya. Jika terjadi salah paham, harus ada yang mau mengalah agar tidak terjadi perselisihan yang berkepanjangan. Perselisihan harus segera didamaikan, lebih-lebih bila sudah terjadi pertumpahan darah, bila tidak diselesaikan dapat meluas (Daud, 1997). Pada masyarakat Banjar jika terjadi persengketaan di antara warga atau terjadi tindak penganiayaan atau pelanggaran adat, maka warga cenderung  menyelesaikannya dengan cara badamai. Badamai (cara damai) lazim juga disebut babaikan, baparbaik, bapatut, mamatut, atau baakuran (Hasan, 2007:89). Ada ungkapan orang Banjar yang bermakna betapa penting menegakkan persaudaraan, yaitu mau haja bakalah-bamanang (mau saja kalah-menang), maksudnya mau saja memberi dan menerima. Hal ini sesuai dengan salah satu keinginan pokok manusia, yaitu menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya (Soekanto, 2004:115).
Cerita Gampa-Gampa (Pal-45-GGp) dan Umpat Balasungkawa (Pal-42-Ubk) juga mengungkapkan adanya nilai persaudaraan pada saat warga di daerah lain mendapat musibah. Rasa prihatin atas musibah yang menimpa orang lain, juga bagian dari nilai budaya Banjar. Karena itu, ketika terjadi musibah di daerah lain, orang Banjar ikut bersedih dan memberikan bantuan kepada korban.
Gotong-royong mempunyai konsep yang amat luas karena memang hampir semua kegiatan manusia itu biasanya dilakukannya dalam rangka kerja sama dengan orang lain (Koentjaraningrat, 1985:11). Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa gotong-royong semula mengacu pada pengerahan tenaga dari luar keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas bercocok tanam di sawah. Istilah gotong royong dalam bahasa Banjar disebut gawi sabumi (bekerja bersama) bila berkaitan dengan pengerahan tenaga/fisik dan digunakan istilah batuturunan (urunan memberi sumbangan) bila berkaitan dengan pengumpulan dana. Gawi sabumi sering digunakan untuk membangun jalan, jembatan, atau titian, membangun pos ronda, dan manajak sarubung (mendirikan tenda atau atap untuk keperluan selamatan perkawinan). Masyarakat Banjar juga mengadakan gotong-royong saat mengerjakan sawahnya, misalnya saat menyemai benih, mengolah rumput, menanam padi, mengetam, dll (Ideham, dkk. 2005:186-188). Gotong-royong dan tolong-menolong merupakan pertanda adanya kerukunan dalam masyarakat (Soekanto, 2004:75). Gotong-royong telah lama berlangsung di masyarakat Banjar. Gotong-royong berkaitan dengan upacara perkawinan, misalnya: mencari kayu bakar dan bahan bangunan, menancapkan tiang penguat rumah, membuat balai persandingan, menumbuk padi, dan mencari ikan (Saleh, 1991:58-59). Gotong-royong juga terjadi dalam hal mendulang intan. Para pendulang saling bekerja sama menggali lubang, membuang bekas tanah galian, dan menimba air (Ideham, dkk. 2005:212).
Beberapa macam gotong-royong yang disebutkan di atas, sudah semakin berkurang, bahkan sebagiannya telah hilang. Hal ini terjadi tentu tidak terlepas dari adanya perkembangan kehidupan masyarakat. Namun, gotong-royong tetap berlangsung, walau wujudnya agak berbeda, misalnya gotong-royong bisa dalam bentuk memberikan bantuan bahan makanan dan/atau uang untuk kegiatan tertentu.. Gotong-royong di pedesaan masih mendekati seperti bentuk gotong-royong masa lalu. Dalam masyarakat tradisional, di mana tradisi sangat kuat, sama saja dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa banyak mengalami perubahan (Soekanto, 2004:215). Orang hidup harus batutulungan (saling menolong), jangan hidup saurang-saurang (sendiri-sendiri). Memang, tolong-menolong antar tetangga dan kerabat dekat untuk berbagai kegiatan atau pekerjaan telah lama berlngasung dalam masyarakat desa (Koentjaraningrat, 1985:59-60). Adanya tolong-menolong memang sangat terasa dalam kehidupan masyarakat desa, misalnya pada kegiatan di desa wilayah Kalimantan Selatan.
Salah satu nilai budaya Banjar yang terdapat di dalam cerita si Palui adalah kemampuan seseorang menyesuaikan diri dalam hubungan antar sesama. Orang Banjar sangat menghargai orang yang bisa menyesuaikan diri, termasuk mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri di mana pun mereka tinggal (Syarifuddin, 2000: 4).
Salah satu nilai budaya Banjar yang terdapat dalam cerita si Palui adalah menghargai adat. Cerita  Mambarakat Jua (Pal-64-MJ) mengungkapkan nilai menghargai adat melalui upacara Batapung Tawar. Batapung Tawar dilaksanakan berkaitan dengan kelahiran seorang bayi dan terkadang juga dilaksanakan dalam rangka selesainya suatu pekerjaan.

Nilai Budaya Banjar yang Berkaitan dengan Hubungan Manusia dengan  Diri Sendiri
Nilai budaya Banjar yang terdapat dalam cerita si Palui dalam hubungan manusia dengan diri sendiri meliputi: kerja keras, teliti, waspada, disiplin, koreksi diri, hemat, jaga diri, mengikuti perkembangan zaman, percaya pada diri sendiri, dan tanggungjawab.
Dalam bahasa Banjar kerja keras biasa disebut bagawi banar atau bagawi bujur. Beberapa cerita yang mengandung nilai kerja keras sekaligus juga mencerminkan jenis pekerjaan yang ditekuni oleh orang-orang Banjar sejak zaman dahulu, sebagiannya merupakan gambaran adanya perubahan keadaan kehidupan di kalangan masyarakat Banjar itu sendiri. Pekerjaan sebagai petani merupakan jenis pekerjaan yang lumrah karena sebagian besar orang Banjar hidupnya mengandalkan dari hasil pertanian. Sejak dulu lahan pertanian sangat luas, sehingga jika orang mau bekerja di bidang pertanian, kemungkinan besar akan memperoleh kehidupan yang layak. Memang, orang Banjar dikenal bukan saja bergerak di bidang pertanian, tetapi juga bidang perkebunan dan pertenakan (Daud, 1997:110-126). Dalam cerita Gawian Wani Mati (Pal-16-GWM) terungkap tentang begitu terbukanya orang Banjar memperoleh pendapatan melalui bertani dan berkebun.
Ada satu pekerjaan yang orang Banjar yang telah lama ditekuni mereka, yakni bekerja di bidang perkayuan, baik dalam lingkup besar maupun kecil. Orang Banjar menyebutnya bagawi kayu. Cerita Bagawi Kayu (Pal-95-BgK) juga mengandung nilai kerja keras. Palui bekerja mengolah kayu untuk keperlauan bahan bakar untuk keperluan dapur. Palui memotong kayu batangan yang cukup besar, kemudian memotongnya kecil-kecil lalu diikat dan dijual.
Salah satu nilai budaya Banjar yang terdapat di dalam cerita si Palui adalah ketelitian. Orang Banjar berusaha untuk teliti dalam memutuskan atau mengerjakan sesuatu. Karena itu, orang Banjar mengenal istilah basusuluh yang mengandung makna suatu upaya untuk meneliti atau memeriksa secara cermat terhadap suatu hal. Cerita Dapat Menantu Endek (Pal-36-DME) mengungkapkan adanya ketelitian Palui dalam menjodohkan anak gadisnya. Palui terlebih dahulu basusuluh atau melakukan penelitian tentang orang yang melamar anaknya. Basusuluh bisa dilakukan oleh pihak keluarga perempuan, bisa pula dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki (Syarifuddin, dkk. 1995:22-223). . Kegiatan basusuluh dilakukan sejak ada tanda-tanda akan diadakan pelamaran atau sebelum meminang (Daud, 1997:174). Waspada merupakan salah satu nilai budaya Banjar yang terdapat dalam cerita si Palui. Orangtua Banjar sering menasihati anak-anaknya bahati-hati (berhati-hati) dalam bergaul. Nilai kewaspadaan juga terdapat dalam cerita Basadakah Duit Ganal (Pal-91-BDG). Basadakah Duit Ganal menceritakan tentang Palui yang kurang percaya diri terhadap ketahanan mentalnya, Palui khawatir tergoda untuk mengambil kesempatan kemudian menyelewengkan uang sumbangan.
Nilai disiplin juga ditemukan dalam cerita si Palui. Cerita Umpat Bademo (Pal-19-UB) berisi tentang perlunya ketaatan terhadap aturan. Seseorang boleh mengemukakan pendapat, melakukan demonstrasi, asalkan dilakukan secara tertib dan tidak merugikan orang lain. Koreksi diri merupakan salah satu nilai budaya Banjar yang terdapat dalam cerita si Palui. Cerita Palsu tapi Payu (Pal-8-PtP) mengungkapkan tentang pekerjaan seseorang  dan rezeki yang didapatnya. Dalam Palsu tapi Payu terdapat nilai agar setiap orang mau mengoreksi dirinya, mengedepankan kejujuran, dan tidak mangaramputi. Mangamramputi mengandung makna melakukan kebohongan yang sangat mengecewakan orang yang dibohongi. Cerita Jalan Pintas (Pal-88-JP) terungkap adanya nasihat agar seseorang yang memperoleh kepercayaan menangani proyek hendaknya dapat melakukannya dengan baik. Cerita Banang Habang (Pal-65-BHb) berisi tentang pentingnya seseorang menyesuaikan diri saat akan berbicara dengan orang lain. Ada satu ungkapan dalam bahasa Banjar agar seseorang jangan sampai pandir malangit. Pandir malangit berarti suatu cara bicara yang sulit dipahami orang lain, ada unsur kesombongan (Mugeni, dkk. 2004:94-95).